Siapa yang tidak kenal dengan salah satu produk mi instan yang satu ini? Indomie. Mendengar namanya saja, kamu mungkin sudah bisa membayangkan kenikmatan sepiring indomie dengan topping telur, sawi segar, dan irisan cabai. Namun tahukah kamu, ternyata Indomie memiliki sejarah panjang hingga bisa merajai produk mi instan di Indonesia dan bahkan di beberapa negara.
Melansir katadata.co.id, hasil riset yang dilakukan oleh Frontier Group menunjukkan bahwa Indomie memperoleh skor Top Brand Index (TBI) tertinggi, yaitu 72,9% dibanding pesaing terdekatnya yang hanya memperoleh 15,5%. Hal ini menjadikan Indomie berada di urutan pertama di antara merek mi instan lainnya, dan meraih Top Brand Award 2022. Dengan begitu digdayanya Indomie, bagaimana perjalanan Indomie hingga bisa merajai pasar mi instan?
Sejarah panjang Indomie dimulai dari sini
Semua bermula pada tahun 1970, ketika empat pengusaha Tionghoa asal Medan membentuk sebuah perusahaan bernama Sanmaru Food Manufacturing Co Ltd. Pengusaha-pengusaha penggagas Indomie tersebut antara lain Djajadi Djaja Chow Ming Hua, Wahyu Tjuandi, Ulong Senjaya, dan Pandi Kusuma. Dua tahun berselang, tepatnya pada tahun 1972 perusahaan tersebut mulai memproduksi mi instan yang diberi nama Indomie dan mengawali langkahnya dengan menciptakan varian rasa kuah kaldu ayam. Kabar baiknya, Indomie sangat cepat diterima dan disukai masyarakat kala itu.
Pada tahun 1982, Indomie kian melejit dengan menciptakan varian rasa baru kari ayam dan mi goreng. Melihat kesuksesan Indomie, satu tahun setelah Indomie varian mi goreng diluncurkan, Sanmaru Food Manufacturing dibeli oleh PT Sarimi Asli Jaya. Hingga pada 1990, PT Sarimi Asli Jaya pun diakuisisi oleh salah satu perusahaan Salim Group yakni PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk yang pada saat itu bernama PT Panganjaya Intikusuma.
Akuisisi adalah kunci!
Akuisisi tersebut nyatanya memberikan angin segar bagi Indomie. Di bawah naungan PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk, indomie berhasil menguasai hampir 90% pasar domestik mi instan. Selain itu, pada tahun 1992 Indomie kian melebarkan sayapnya ke kancah internasional dengan mengekspor ke beberapa negara seperti Singapura, Brunei, Malaysia, Amerika Serikat, Australia, Inggris, Timur Tengah, China, dan beberapa negara di benua Eropa.
Naik turun kesuksesan Indomie
Meski terlihat mulus, perjalanan Indomie hingga sesukses sekarang juga mengalami gonjang-ganjing. Pada tahun 1993, Salim memutuskan tidak lagi memakai perusahaan Djajadi, PT Wicaksana sebagai distributor, melainkan kini memakai anak usahanya bernama Indomarco Adi Prima.
Setelah jatuhnya Orde Baru, Djajadi nampaknya mencoba memanfaatkan situasi di mana masyarakat tidak menyukai kekuasaan orde baru. Pada tanggal 17 Desember 1998, ia mengajukan gugatan ke pengadilan terhadap Indofood, karena merasa dipaksa untuk menjual saham dan mereknya di PT Indofood Interna dengan harga yang rendah. Djajadi juga menuduh Salim telah memanipulasi kepemilikan saham agar sahamnya semakin mengecil. Djajadi menuntut ganti rugi sebesar Rp 620 miliar, namun dia kalah hingga pada tingkat banding di Mahkamah Agung. Setelah kalah dari Salim, Djajadi memutuskan untuk melanjutkan bisnis pabrik mi instan baru yang telah dirintisnya sejak Mei 1993, di bawah PT Jakarana Tama.
Menjadi mi nomor satu di Indonesia
Sejak tahun 2009, produksi dialihkan ke anak perusahaan, yaitu PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk. Di bawah kepemimpinan Indofood, Indomie semakin luas produksinya dan menghasilkan banyak varian, termasuk varian biasa, varian daerah, varian khusus seperti mi keriting dan mi siram, dan sebagainya. Indomie kemudian menjadi merek nomor satu di Indonesia.
Selain itu, hadirnya Indomie juga meningkatkan perputaran ekonomi dengan melahirkan sebuah usaha bisnis yang sangat populer di berbagai penjuru Indonesia, Warmindo. Merupakan salah satu opsi penghilang rasa lapar yang digemari mulai dari anak sekolah, mahasiswa, hingga orang- orang yang bekerja kantoran. Dengan beragam konsep yang diterapkan oleh para owner Warmindo dalam meracik menu, Indomie tetap menjadi salah satu menu andalan yang banyak dipesan. Tidak jarang banyak para pemilik Warmindo yang berhasil hingga mampu membuka lebih dari satu cabang Warmindo.
Salah satu kisah sukses tersebut datang dari Yogyakarta. Heru Setiawan selaku pemilik Warmindo bercerita jatuh bangunnya dalam membangun bisnis yang ia bangun pada 2017. Namun siapa sangka berkat kegigihannya dalam berwirausaha, dan belajar dari kesalahan membuat Heru berhasil membuka 6 cabang dengan omzet rata-rata sebesar 120 juta per bulan untuk satu outletnya.
Kepopulerannya meroket hingga ke mancanegara
Kenikmatan dan kepopuleran Indomie tidak bisa kita pungkiri lagi, bahkan sudah sampai ke mancanegara. Terbukti dari banyaknya YouTuber luar negeri yang penasaran dengan kelezatan Indomie. Mulai dari konten yang membahas tentang cara masak Indomie, perbandingan harga Indomie di luar negeri, reaksi pertama makan Indomie hingga mukbang. Bahkan YouTuber asal Korea dengan channel Koki Korea mengaku menjadi ketagihan setelah mencoba Indomie soto.
Namun hal tersebut sudah tidak mengejutkan lagi. Kenapa? Karena siapa sangka bahkan di benua Afrika tepatnya di Nigeria terdapat sebuah organisasi pecinta Indomie yang diberi nama Indomie Fans Club (IFC).
Bukan tanpa alasan mengapa Indomie bisa memiliki basis fans besar di Nigeria. Hal ini tidak lain dan tidak bukan, karena Indomie pertama kali dipasarkan pada tahun 1988 dan berhasil memikat hati masyarakat Nigeria, hingga pada tahun 1995 Indomie bisa mendirikan pabrik pertamanya di Nigeria melalui Dufil Prima Goods, karena kesuksesannya tersebut.
Harga yang terjangkau, mudah disajikan, awet, dan tentunya enak, menjadi alasan mengapa Indomie bisa merajai pasar mi instan di Indonesia bahkan mancanegara. Tidak jarang Indomie jadi pilihan orang-orang ketika rasa lapar melanda, namun tidak ingin repot memasak.
Writer : Fachri Muhamad
Editor : Avina Nilam Augustin